BANDUNG, KABARBANDUNG.COM – Malam itu, 23 Maret 1946, langit Bandung memerah. Bukan karena senja, melainkan karena api yang berkobar membakar rumah, gedung, dan jalanan. Bau asap menyengat, cahaya oranye membara, dan suara kayu runtuh berpadu dengan dentuman senjata.
Malam itu, Bandung menjadi lautan api—sebuah peristiwa yang akan selamanya dikenang dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Awal Ketegangan
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Bandung sempat berada di bawah kendali para pejuang Republik. Namun, situasi berubah ketika pasukan Sekutu yang diboncengi NICA (Belanda) datang dan menuntut pengosongan Bandung bagian utara. Dalihnya, mereka ingin menjaga keamanan pasca-Perang Dunia II.
Pemerintah Republik menolak menyerahkan senjata, tetapi tekanan terus meningkat. Pada 21 Maret 1946, ultimatum baru datang—seluruh kota harus dikosongkan oleh penduduk dan pejuang dalam waktu 24 jam.
Keputusan yang Mengguncang
Bagi para pejuang, meninggalkan Bandung berarti membiarkan kota strategis itu jatuh ke tangan musuh. Namun, mempertahankannya dengan kekuatan terbatas hanya akan membawa korban jiwa lebih banyak.
Maka, diputuskanlah langkah nekat: membumihanguskan Bandung. Semua fasilitas penting, gudang persenjataan, dan rumah warga dibakar agar tidak bisa dimanfaatkan oleh pihak musuh.
Malam Api yang Membara
Malam 23 Maret 1946 menjadi saksi pengorbanan besar itu. Api menjalar dari rumah ke rumah, gudang ke gudang, bahkan kantor pemerintahan. Ribuan warga mengungsi ke selatan Bandung sambil membawa barang seadanya.
Salah satu tokoh kunci peristiwa ini adalah Mohammad Toha, pejuang yang menyusup ke gudang amunisi di Dayeuhkolot dan meledakkannya.
Ledakan itu menggetarkan tanah Bandung, menandai puncak perlawanan rakyat yang lebih memilih membakar kotanya daripada melihatnya jatuh ke tangan penjajah.
Makna dan Warisan Sejarah
Bandung Lautan Api bukan sekadar cerita tentang kota yang terbakar, tapi tentang pengorbanan total demi mempertahankan kemerdekaan. Ribuan keluarga kehilangan rumah, tetapi mereka juga menunjukkan bahwa kemerdekaan lebih berharga daripada kenyamanan.
Kini, di Bandung berdiri Monumen Bandung Lautan Api di Tegallega sebagai pengingat peristiwa heroik ini. Setiap tahun, warga Bandung mengenangnya sebagai simbol keberanian, persatuan, dan semangat pantang menyerah.
Peristiwa ini mengajarkan satu hal: kemerdekaan tidak datang begitu saja. Ia lahir dari darah, air mata, dan kadang, dari keberanian membakar rumah sendiri demi sebuah cita-cita besar (Wan).